PADANG(RS) – Kasus yang menjerat mantan Ketua DPD-RI, Irman Gusman memang telah berlangsung lama dan sudah berkekuatan hukum tetap, sehingga tak boleh digugat di luar jalur hukum. Jika ada upaya di luar jalur hukum, bisa-bisa nanti disangka ada upaya contempt of court.
Hal itu tak boleh dilakukan. Semua pihak harus menghormati kekuasaan kehakiman sebagai bagian dari otoritas negara. Meski demikian, banyak pihak yang kecewa dengan putusan hukum tersebut, lantas bersuara. Suara mereka disampaikan dalam buku ‘Menyibak Kebenaran’
Dalam bingkai ilmiah atau akademis, kasus seperti ini layak dibahas di kalangan perguruan tinggi, khususnya di fakultas hukum, sebagai bahan pembelajaran hukum secara berperikemanusiaan dan berperikeadilan. Sebab tujuan berhukum itu bukanlah untuk mempermalukan atau menyengsarakan orang, melainkan untuk menertibkan dan membahagiakan, sesuai cita hukum negara, yaitu Pancasila.
Setidaknya ada 15 profesor hukum yang memberikan anotasi (pendapat, komentar) di dalam buku tersebut terhadap apa yang menimpa Irman Gusman. Di antara 15 profesor atau guru besar itu terdapat nama Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H, Prof. Dr. Nyoman Putra Jaya, S.H., Prof Dr. Eman Suparman, S.H., Dr. Maqdir Ismail, S.H., Prof. Dr. Esmi Warassih, S.H., Dr. Yudi Kristiana, S.H., Prof. Dr. Suteki, S.H., dan masih banyak lagi nama-nama Guru Besar Hukum Pidana serta Sosiologi Hukum yang turut menyumbang anotasi dari kacamata mereka masing-masing. Uniknya, banyak di antara mereka tidak dikenal Irman dan tidak pula kenal dengan Irman Gusman. Para pakar hukum ini merasa tergugah untuk menyibak kebenaran dalam kasus yang mereka nilai sangat tak adil dan menjungkirbalikkan rasa keadilan masyarakat.
Pendapat mereka, seperti diuraikan dalam buku tersebut, aparat penegak hukum telah salah menerapkan aturan hukum dalam menangani kasus dimaksud. Mulai dari cara Irman ditangkap sampai proses pra-peradilan yang digugurkan di tengah jalan, hingga pasal-pasal yang digunakan dalam proses peradilan untuk mendakwa dan menghukum Irman, dinilai jauh menyimpang dari azas, norma, dan aturan hukum yang semestinya. Akibatnya, telah terjadi ketidakbenaran dan ketidakadilan dalam penanganan kasus itu.
Oleh karenanya, mereka merasa perlu meluruskan cara penegakan hukum yang dianggap sudah terdistorsi sangat jauh sehingga hasilnya adalah pameran arogansi penegakan undang-undang yang bertolak belakang dengan tujuan untuk menciptakan keadilan.
Pakar hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Eddy Hieriej, mengatakan jaksa telah salah memilih pasal dakwaan terhadap Irman Gusman, dan hakim pun dinilai mengikuti alur pikiran jaksa sehingga membuat “kekeliruan yang nyata” yaitu menggunakan Pasal 12 huruf b tentang suap yang berhubungan dengan jabatan atau bertentangan dengan kewajiban Irman Gusman sebagai Ketua DPD RI saat itu. Padahal urusan distribusi gula ke Sumatera Barat bukanlah kewenangan DPD RI, melainkan kewenangan Bulog.
Karena itulah maka pakar hukum pidana yang juga salah seorang pendiri KPK dan perumus UU Tipikor, Prof. Dr. Andi Hamzah, mengatakan Irman Gusman seharusnya dibebaskan dan tidak dihukum seperti itu. Sebab, penggunaan Pasal 12 huruf b sebagai dakwaan primer tidak bisa dibuktikan dari kacamata hukum pidana yang sebenarnya.
Paling-paling yang bisa dikenakan adalah Pasal 11 tentang gratifikasi. Tapi itupun harus berikan waktu 30 hari kerja kepada Irman untuk mengembalikan gratifikasi tersebut. Faktanya adalah hak Irman untuk mengembalikan gratifikasi itu tidak dihiraukan oleh penegak hukum. Jadi, di sini terjadi pelanggaran terhadap dua azas hukum sekaligus yaitu due proses of law dan presumption of innocence.
Menurut Andi, kalau KPK mau taat pada aturannya sendiri tentang perlunya melakukan pencegahan, maka seharusnya Irman diberitahu ada orang yang mau datang ke rumahnya untuk memberikan sesuatu, karena itu sebaiknya jangan terima orang itu. Faktanya pencegahan tidak dilakukan, padahal Irman sudah disadap berbulan-bulan. “Jadi, dimana upaya pencegahannya?” Katanya. Lebih jauh Andi Hamzah mengatakan dalam buku itu: penegak hukum itu tugasnya mencegah terjadinya kejahatan, bukan mengintai orang sampai orang itu melakukan suatu tidak kejahatan baru ditangkap.
Iapun membuat perumpamaan, kalau seorang dokter melihat ada seseorang memakan makanan yang kotor, maka dokter itu wajib menasihati orang tersebut agar berhenti memakan makanan kotor itu. Bukan malah membiarkan dia makan sampai sakit lalu datang berobat supaya dokter dapat uang. Jika ada yang seperti itu, dinilai sebagai dokter tak bermoral.
Perumpamaan lain bagi Andi Hamzah, jika tengah malam penegak hukum melihat ada orang membawa tangga menuju suatu rumah, maka wajib bagi penegak hukum bersangkutan mencegahnya. Bukan malah membiarkan dia memasang tangga di rumah orang dan ketika dia sedang mencuri barulah penegak hukum menangkap dia.
Terhadap kerugian negara yang didakwakan kepada Irman Gusman, para pakar dalam buku tersebut menilai tidak ada satu sen pun uang negara yang diambil Irman dalam kasus tersebut. Uang pemberian Rp100 juta itu bukan dari APBN, melainkan dari perusahaan swasta di Padang.
Pemberian itu juga tak pernah diketahui sebelumnya oleh Irman dan tak pernah ada perjanjian untuk menyerahkan kepadanya. Sebaliknya, suami-istri (Xaveriandy Sutanto-Memi) datang ke rumah Irman untuk menyatakan rasa terima kasih dan penghargaan mereka karena Irman telah membantu mereka mendapat jatah gula Bulog untuk disalurkan ke Sumbar. Itu adalah aplikasi dari budaya Minang bajalan babuah batih, malenggang babuah tangan, dan kalau datang tampak muka, kalau pulang tampak punggung.
Menurut Andi, tradisi beri-memberi seperti itu dilestarikan dalam masyarakat Minang, bahkan di seluruh Indonesia. Tidak ada yang salah dari tradisi seperti itu. Manfaat bagi masyarakat Sumbar adalah harga gula akhirnya turun. Itu tugas Irman sebagai Senator Sumbar.
Karena itu dinilai sebagai gratifikasi, seharusnya Irman diberi kesempatan untuk mengembalikan gratifikasi itu sesuai peraturan perundang-undangan. Sebab Irman bukan orang miskin yang butuh uang sejumlah itu. Irman adalah pejabat negara yang paham hukum, dan rekam jejaknya bersih, tidak pernah tersangkut kasus, baik kasus korupsi maupun kasus hukum lainnya.
Lalu, bagaimana dengan upaya Irman Gusman mengajukan Peninjauan Kembali (PK)? Yang perlu diketahui, prosesnya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sudah rampung, tinggal menunggu putusan Mahkamah Agung. Para pakar tersebut masih percaya bahwa MA akan memberikan putusan yang adil dan menjungjung tinggi azas-azas dan aturan hukum yang semestinya. Sebab putusan MA itu merupakan mahkota dari proses penegakan hukum yang sudah terjadi. Sebab semua fakta hukum dan juga bukti-bukti baru dalam PK tentang kasus tersebut sudah diserahkan untuk diteruskan ke MA.
Hal itu tak boleh dilakukan. Semua pihak harus menghormati kekuasaan kehakiman sebagai bagian dari otoritas negara. Meski demikian, banyak pihak yang kecewa dengan putusan hukum tersebut, lantas bersuara. Suara mereka disampaikan dalam buku ‘Menyibak Kebenaran’
Dalam bingkai ilmiah atau akademis, kasus seperti ini layak dibahas di kalangan perguruan tinggi, khususnya di fakultas hukum, sebagai bahan pembelajaran hukum secara berperikemanusiaan dan berperikeadilan. Sebab tujuan berhukum itu bukanlah untuk mempermalukan atau menyengsarakan orang, melainkan untuk menertibkan dan membahagiakan, sesuai cita hukum negara, yaitu Pancasila.
Setidaknya ada 15 profesor hukum yang memberikan anotasi (pendapat, komentar) di dalam buku tersebut terhadap apa yang menimpa Irman Gusman. Di antara 15 profesor atau guru besar itu terdapat nama Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H, Prof. Dr. Nyoman Putra Jaya, S.H., Prof Dr. Eman Suparman, S.H., Dr. Maqdir Ismail, S.H., Prof. Dr. Esmi Warassih, S.H., Dr. Yudi Kristiana, S.H., Prof. Dr. Suteki, S.H., dan masih banyak lagi nama-nama Guru Besar Hukum Pidana serta Sosiologi Hukum yang turut menyumbang anotasi dari kacamata mereka masing-masing. Uniknya, banyak di antara mereka tidak dikenal Irman dan tidak pula kenal dengan Irman Gusman. Para pakar hukum ini merasa tergugah untuk menyibak kebenaran dalam kasus yang mereka nilai sangat tak adil dan menjungkirbalikkan rasa keadilan masyarakat.
Pendapat mereka, seperti diuraikan dalam buku tersebut, aparat penegak hukum telah salah menerapkan aturan hukum dalam menangani kasus dimaksud. Mulai dari cara Irman ditangkap sampai proses pra-peradilan yang digugurkan di tengah jalan, hingga pasal-pasal yang digunakan dalam proses peradilan untuk mendakwa dan menghukum Irman, dinilai jauh menyimpang dari azas, norma, dan aturan hukum yang semestinya. Akibatnya, telah terjadi ketidakbenaran dan ketidakadilan dalam penanganan kasus itu.
Oleh karenanya, mereka merasa perlu meluruskan cara penegakan hukum yang dianggap sudah terdistorsi sangat jauh sehingga hasilnya adalah pameran arogansi penegakan undang-undang yang bertolak belakang dengan tujuan untuk menciptakan keadilan.
Pakar hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Eddy Hieriej, mengatakan jaksa telah salah memilih pasal dakwaan terhadap Irman Gusman, dan hakim pun dinilai mengikuti alur pikiran jaksa sehingga membuat “kekeliruan yang nyata” yaitu menggunakan Pasal 12 huruf b tentang suap yang berhubungan dengan jabatan atau bertentangan dengan kewajiban Irman Gusman sebagai Ketua DPD RI saat itu. Padahal urusan distribusi gula ke Sumatera Barat bukanlah kewenangan DPD RI, melainkan kewenangan Bulog.
Karena itulah maka pakar hukum pidana yang juga salah seorang pendiri KPK dan perumus UU Tipikor, Prof. Dr. Andi Hamzah, mengatakan Irman Gusman seharusnya dibebaskan dan tidak dihukum seperti itu. Sebab, penggunaan Pasal 12 huruf b sebagai dakwaan primer tidak bisa dibuktikan dari kacamata hukum pidana yang sebenarnya.
Paling-paling yang bisa dikenakan adalah Pasal 11 tentang gratifikasi. Tapi itupun harus berikan waktu 30 hari kerja kepada Irman untuk mengembalikan gratifikasi tersebut. Faktanya adalah hak Irman untuk mengembalikan gratifikasi itu tidak dihiraukan oleh penegak hukum. Jadi, di sini terjadi pelanggaran terhadap dua azas hukum sekaligus yaitu due proses of law dan presumption of innocence.
Menurut Andi, kalau KPK mau taat pada aturannya sendiri tentang perlunya melakukan pencegahan, maka seharusnya Irman diberitahu ada orang yang mau datang ke rumahnya untuk memberikan sesuatu, karena itu sebaiknya jangan terima orang itu. Faktanya pencegahan tidak dilakukan, padahal Irman sudah disadap berbulan-bulan. “Jadi, dimana upaya pencegahannya?” Katanya. Lebih jauh Andi Hamzah mengatakan dalam buku itu: penegak hukum itu tugasnya mencegah terjadinya kejahatan, bukan mengintai orang sampai orang itu melakukan suatu tidak kejahatan baru ditangkap.
Iapun membuat perumpamaan, kalau seorang dokter melihat ada seseorang memakan makanan yang kotor, maka dokter itu wajib menasihati orang tersebut agar berhenti memakan makanan kotor itu. Bukan malah membiarkan dia makan sampai sakit lalu datang berobat supaya dokter dapat uang. Jika ada yang seperti itu, dinilai sebagai dokter tak bermoral.
Perumpamaan lain bagi Andi Hamzah, jika tengah malam penegak hukum melihat ada orang membawa tangga menuju suatu rumah, maka wajib bagi penegak hukum bersangkutan mencegahnya. Bukan malah membiarkan dia memasang tangga di rumah orang dan ketika dia sedang mencuri barulah penegak hukum menangkap dia.
Terhadap kerugian negara yang didakwakan kepada Irman Gusman, para pakar dalam buku tersebut menilai tidak ada satu sen pun uang negara yang diambil Irman dalam kasus tersebut. Uang pemberian Rp100 juta itu bukan dari APBN, melainkan dari perusahaan swasta di Padang.
Pemberian itu juga tak pernah diketahui sebelumnya oleh Irman dan tak pernah ada perjanjian untuk menyerahkan kepadanya. Sebaliknya, suami-istri (Xaveriandy Sutanto-Memi) datang ke rumah Irman untuk menyatakan rasa terima kasih dan penghargaan mereka karena Irman telah membantu mereka mendapat jatah gula Bulog untuk disalurkan ke Sumbar. Itu adalah aplikasi dari budaya Minang bajalan babuah batih, malenggang babuah tangan, dan kalau datang tampak muka, kalau pulang tampak punggung.
Menurut Andi, tradisi beri-memberi seperti itu dilestarikan dalam masyarakat Minang, bahkan di seluruh Indonesia. Tidak ada yang salah dari tradisi seperti itu. Manfaat bagi masyarakat Sumbar adalah harga gula akhirnya turun. Itu tugas Irman sebagai Senator Sumbar.
Karena itu dinilai sebagai gratifikasi, seharusnya Irman diberi kesempatan untuk mengembalikan gratifikasi itu sesuai peraturan perundang-undangan. Sebab Irman bukan orang miskin yang butuh uang sejumlah itu. Irman adalah pejabat negara yang paham hukum, dan rekam jejaknya bersih, tidak pernah tersangkut kasus, baik kasus korupsi maupun kasus hukum lainnya.
Lalu, bagaimana dengan upaya Irman Gusman mengajukan Peninjauan Kembali (PK)? Yang perlu diketahui, prosesnya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sudah rampung, tinggal menunggu putusan Mahkamah Agung. Para pakar tersebut masih percaya bahwa MA akan memberikan putusan yang adil dan menjungjung tinggi azas-azas dan aturan hukum yang semestinya. Sebab putusan MA itu merupakan mahkota dari proses penegakan hukum yang sudah terjadi. Sebab semua fakta hukum dan juga bukti-bukti baru dalam PK tentang kasus tersebut sudah diserahkan untuk diteruskan ke MA.
#Ryan