Dharmasraya (Rangkiangnagari) - Ironis. Di hari ketika bangsa ini memperingati 79 tahun Sumpah Pemuda sebuah momentum sejarah yang mestinya dirayakan dengan semangat persatuan, penghormatan, dan penghargaan terhadap semua elemen bangsa pemerintahan di bawah kepemimpinan Bupati perempuan pertama Dharmasraya, Annisa Suci Ramadhani, justru mempertontonkan pemandangan yang mencederai etika pemerintahan dan martabat profesi jurnalis.
Di halaman kantor bupati yang seharusnya menjadi panggung kebersamaan itu, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Dharmasraya justru diperlakukan seolah tamu tak diundang. Tidak ada kursi yang disediakan, tidak ada tanda penghargaan bagi organisasi yang selama ini menjadi pilar demokrasi lokal. Bahkan setelah protes, panitia baru sibuk menulis label “PWI” secara manual dengan tulisan tangan di kursi yang diambil seadanya dari barisan tamu lain.
Bagi sebagian orang, mungkin ini tampak sepele. Tapi bagi dunia pers, ini sebuah pelecehan simbolik terhadap eksistensi organisasi profesi yang menjadi bagian penting dari kontrol publik atas kekuasaan. Terlebih, ini bukan insiden pertama. PWI Dharmasraya pernah mengalami perlakuan serupa saat upacara HUT RI 17 Agustus lalu dan saat itu, janji agar hal memalukan tersebut tidak terulang kembali sudah diucapkan langsung oleh Pj. Sekda Jasman Rizal.
Namun nyatanya, janji itu tinggal janji.
Dan kini, di era kepemimpinan Annisa Suci Ramadhani, hubungan antara pemerintah daerah dan insan pers seolah kian renggang, dingin, bahkan sinis.
“Dulu, bupati-bupati sebelumnya sangat menghargai media. Tapi kini terasa berbeda,” ujar Plt Ketua PWI Dharmasraya, Yahya, dengan nada kecewa, Selasa,28/10/2025 di Pulau Punjung.
Sebuah kalimat pendek yang menggambarkan retaknya komunikasi dan etika pemerintahan di bawah seorang pemimpin muda yang seharusnya menjadi simbol perubahan, justru terperangkap dalam gestur kekuasaan yang kaku dan tidak sensitif terhadap simbol penghargaan publik.(St)

