Guru, Pembaca, dan Penulis

GURU adalah suatu pekerjaan tehormat dimata manusia dan mulia disisi Allah SWT. Oleh karena diajar gurulah siswa itu bisa pandai dan berhasil dalam belajar di sekolah. Dan mulianya pekerjaan guru itu, karena memberikan ilmu bermanfaat terhadap siswa yang menjadi anak didiknya. Sepanjang guru ikhlas berbagi ilmu yang dimiliki, maka pengabdiannya menjadi amal jahiriyah dan dicatat sebagai amal ibadah. Lalu bisakah guru punya karya sastra atau kesusastraan dalam hidupnya?

Guru yang berwawasan luas dan punya integritas tinggi dalam mengajar karena kaya dengan berbagai ilmu pengetahuan. Tentunya guru yang gemar membaca, menulis, dan berpikir agar setiap ilmu yang diberikan itu dikuasai oleh anak didiknya. Untuk mendapatkan peringkat tersebut guru harus terus belajar sepanjang hayatnya.

Mengapa kita (guru) harus gemar dan membaca itu menjadi penting dalam hidupnya?

Salah satu perintah Allah SWT pertama kali kepada umat manusia adalah membaca. Iqra` bismirabbikalladzi khalaq “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,” Tentunya dalam hal ini, membaca untuk menghimpun pengetahuan agar menjadi manusia yang bermartabat dan dekat kepada Sang Pencipta. Kebiasaan gemar membaca, menjadikan seseorang itu memiliki bermacam ilmu pengetahuan dan “membuat mata hatinya” terang melihat sesuatu. Kebiasaan itu erat kaitannya dengan perinsip long life education dalam hidup seorang anak manusia. Kita bisa menyimak dari kisah sukses tokoh dan orang besar seperti: Haji Agus Salim, Muhammad Yamin, Muhammad Natsir, Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Adam Malik, Sutan Syahril, Buya Hamka dan Rosihan Anwar. Mereka gemar membaca dalam kesehariannya sehingga menjadi seorang pemikir dan mempunyai banyak ilmu pengetahuan. Guru sebagai salah satu nara sumber pendidikan juga seorang pemikir. Agar bisa menjadi seorang pemikir, diantaranya bisa diperoleh melalui gemar membaca buku dan mau menulis. 

Proses menulis dalam hidup seseorang itu, diawali dengan proses membaca terlebih dahulu. Guru yang ingin menulis juga harus diawali dengan guru yang gemar membaca. Masih sering kita dengar cilotehan di negeri ini, gemar membaca dianggap sebagai “sikap sok pintar” sehingga membaca itu tidak menjadi kebutuhan. Padahal hakikat membaca bagi guru berarti memperluas wawasan dan memperkaya perspektif diri. Betapa penting gemar membaca itu menurut pakar pembaca Mary Leonhardt. Katanya: kecintaan membaca identik dengan kecintaan untuk mempelajari sesuatu yang baru atau yang akan terjadi.

Nah, bagaimana dengan kita guru yang setiap hari selalu akrab dengan buku, membaca, dan menulis saat berintegrasi dengan siswa? Gemar membaca dan menulis dalam hidup seseorang dapat diperoleh melalui suatu pembiasaan. Bisakah kita sebagai guru meningkat ke level menjadi seorang guru yang pembaca dan penulis? Dalam artian mampu menjadi guru yang gemar membaca dan melahirkan tulisan? Membaca berarti mengolahragakan pemikiran karena orang itu membuka gudang suatu ilmu. Dan menulis berarti menata serta menjernihkan pemikirannya untuk menguasai dunia. Kalaulah guru gemar membaca dan mampu menulis artikel, cerpen, esai, puisi, buku motivasi dan novel? Dan tulisan guru itu dimuat di koran, majalah atau diterbitkan menjadi buku? Sungguh suatu prestasi yang cerdas dan cemerlang karena guru itu telah “menguasai” dunia. Sebagai guru ia telah berkeliling dunia dengan buah pikiran atau tulisannya.

Tidak menjadi guru yang hanya gemar membaca dan menulis di sekolah saja. Tapitampil menulis untuk level yang lebih tinggi, dengan menghasilkan karya tulis dan bisa dibaca oleh banyak orang. Salah satunya, seperti yang digagas Balai Bahasa Sumbar beberapa waktu lalu dengan melatih guru SD di Kota Padang menulis Cerita Rakyat.

Sebagai tindak lanjut dari pelatihan itu, dalam tempo beberapa waktu kemudian lahirkah penulis dari kalangan guru untuk daerah ini? Bisa saja. Kenapa tidak? Harapan kita semua dan Balai Bahasa yang menjembatani pelatihan, tentunya lahir guru yang mampu menulis. Kita ingat dengan kata Buya Hamka: ”Banyak kawan saya yang terlalu takut mengarang, maju mundur, sehingga tidak pernah mengarang. Mereka tidak punya keberanian, karena ingin karangannya sempurna. Mana ada di dunia ini yang sempurna” Nah, bagaimana kita sebagai guru menyikapi buah pikiran ulama besar yang telah menulis banyak buku itu?

Ada baiknya diingat tiga konsep yang dikemukakan K. H. Abdullah Gymnastiar (Aa. Gym) untuk melangkah berbuat yang disebut dengan 3M. (1). Mulailah dari diri sendiri (2). Mulailah dari hal yang kecil (3). Mulailah dari sekarang. Karena banyak hal bisa kita tulis sebagai guru yang selalu beraktifitas dikesehariannya dengan siswa. Mulailah menulis hari ini! Mulailah dari diri sendiri! Karena orang lain tidak akan pernah menulis yang ingin anda tulis. Kisah yang anda paparkan belum tentu bisa dilakukan oleh orang lain. Yakinlah itu!

Guru adalah nara sumber terdepan untuk mencerdaskan generasi bangsa ini. Guru sebagai pendidik tetap guru di sekolah ia mengajar. Tapi ia akan menjadi guru milik semua orang dan dunia, ketika mampu melahirkan karya demi karya tulisannya. Dirinya bekarya dan dibaca oleh dunia. Lalu menjadi pertanyaannya sekarang, bisakah guru menjadi seorang sastrawan? Jawabannya bisa saja dan tidak tertutup peluang untuk itu. Asalkan guru itu mau dan mampu menulis serta memiliki karya tulis. Salam literasi!

(Refdinal Castera, S. Pd)

Labels: ,
[blogger]

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.