Go-Jek dan Grab Menjadi Kebutuhan Transportasi Online Tanah Air
JAKARTA (RangkiangNagari) – Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 265 juta jiwa pada 2018 berdasarkan perhitungan Badan Pusat Statistik tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi bisnis khususnya industri transportasi. Dengan populasi yang sangat besar tentu dengan angka kebutuhan konsumsi dan mobilitas tinggi.
Sehingga industri transportasi online (ride-hailing) belakangan ini tumbuh dengan pesat. Banyak pemain bermunculan, meskipun saat ini hanya dua yang bertahan. yakni Go-Jek, Start-up unicorn asal Indonesia dan Grab, perusahaan penyedia Iayanan ride-hailing terbesar di Asia Tenggara.
Dengan berjalannya waktu persaingan antara Go-Jek dan Grab terjadi, keduanya saling salip dalam mengembangkan Iayanan dan meningkatkan kualitasnya. Harapannya, tentu saja ingin memperoleh jumlah pengguna yang Iebih banyak daripada pesaing. Namun, pada akhirnya konsumen yang menjadi penentu.
Untuk hal tersebut, Spire Research and Consulting, perusahaan riset terkemuka global yang berpusat di Tokyo Jepang, belum lama ini melakukan studi terhadap pengemudi dan konsumen.
Jeffrey Bahar, Group Deputy CEO Spire Research and Consulting, kepada Singgalang di Jakarta, baru-baru ini mengatakan, pada temuan paling menarik dari studi kami adanya kecurangan (fraud) yang cukup besar dan bagaimana pandangan para pengemudi (driver) terhadap hal tersebut.
Berdasarkan hasil survei “Consumers’ Awareness” yang dilakukan Spire Research and Consulting, sebesar 75% dan 61% responden menyebutkan bahwa Grab merupakan merek (brand) yang mereka gunakan dalam 6 dan 3 bulan terakhir. Sementara itu, 62% dan 58% responden memilih menggunakan Go-Jek untuk kategori yang sama dalam 6 dan 3 bulan terakhir.
Melihat data tersebut, konsumen lebih banyak menggunakan Grab. Setidaknya hingga kuartal empat 2018. Sebanyak 34% pengguna GrabCar, salah satu layanan dari Grab, menyebutkan bahwa mereka menggunakan layanan sebanyak 3-4 kali setiap minggunya. Sementara, 25% pengguna Go-Car cenderung hanya menggunakan layanan sebanyak 1-2 kali dalam satu minggu.
Untuk kategori roda dua, Go-Ride masih menjadi pilihan utama pengguna transportasi online. Dari total responden yang memilih Go-Ride, sebanyak 64% menggunakannya hingga 1-2 kali sehari, sedangkan pemilih GrabBike yang menggunakan 1-2 kali daIam sehari ada 58%.
Untuk layanan online food delivery, Go-Food masih memimpin. Sebanyak 35% responden menyebutkan bahwa Go-Food merupakan layanan yang paling sering mereka gunakan. Sementara 27% responden menyatakan memilih GrabFood.
Merujuk pada hasil survei, rupanya OVO, aplikasi pembayaran yang digandeng Grab, unggul dalam pembayaran online to offline, seperti untuk membeli pulsa dan pembayaran di gerai-gerai non-makanan.
Berbeda dengan OVO, Go-Pay, platform pembayaran milik Go-Jek, lebih sering digunakan di pembayaran kedai-kedai makanan-minuman (Go-Food) dan untuk membayar tagihan Iistrik melalui aplikasi Go-Jek.
Sayangnya, di tengah “gegap-gempitanya” bisnis transportasi online, tindak kecurangan (fraud) pun terjadi. Fraud di kalangan pengemudi (driver) sudah menjadi rahasia umum.
Spire Research and Consulting memperkirakan sebanyak 30% dari order yang diterima Go-Jek terindikasi fraud. Angka itu cukup tinggi jika dibandingkan dengan persentase fraud Grab yang diperkirakan hanya 5%.
Para pengemudi Go-Jek yang pernah melakukan fraud itu mengatakan melakukannya karena menemukan celah yang dapat ditembus dalam sistem Go-Jek. Caranya, dengan menggunakan aplikasi yang dapat memodifikasi lokasi (mod). Di sisi Iain, meski pengemudi Grab tak terbebas dari praktik fraud, namun jumlahnya lebih sedikit, yakni kurang dari 10%.
Disampaikan oleh pengemudi Grab, dengan ketatnya sistem keamanan di aplikasi Grab dapat mendeteksi adanya praktik nakal para pengemudi. Sanksi yang diberikan oleh manajemen menjadi penghalau niat para pengemudi Grab untuk melakukan tindak kecurangan.
Sehingga industri transportasi online (ride-hailing) belakangan ini tumbuh dengan pesat. Banyak pemain bermunculan, meskipun saat ini hanya dua yang bertahan. yakni Go-Jek, Start-up unicorn asal Indonesia dan Grab, perusahaan penyedia Iayanan ride-hailing terbesar di Asia Tenggara.
Dengan berjalannya waktu persaingan antara Go-Jek dan Grab terjadi, keduanya saling salip dalam mengembangkan Iayanan dan meningkatkan kualitasnya. Harapannya, tentu saja ingin memperoleh jumlah pengguna yang Iebih banyak daripada pesaing. Namun, pada akhirnya konsumen yang menjadi penentu.
Untuk hal tersebut, Spire Research and Consulting, perusahaan riset terkemuka global yang berpusat di Tokyo Jepang, belum lama ini melakukan studi terhadap pengemudi dan konsumen.
Jeffrey Bahar, Group Deputy CEO Spire Research and Consulting, kepada Singgalang di Jakarta, baru-baru ini mengatakan, pada temuan paling menarik dari studi kami adanya kecurangan (fraud) yang cukup besar dan bagaimana pandangan para pengemudi (driver) terhadap hal tersebut.
Berdasarkan hasil survei “Consumers’ Awareness” yang dilakukan Spire Research and Consulting, sebesar 75% dan 61% responden menyebutkan bahwa Grab merupakan merek (brand) yang mereka gunakan dalam 6 dan 3 bulan terakhir. Sementara itu, 62% dan 58% responden memilih menggunakan Go-Jek untuk kategori yang sama dalam 6 dan 3 bulan terakhir.
Melihat data tersebut, konsumen lebih banyak menggunakan Grab. Setidaknya hingga kuartal empat 2018. Sebanyak 34% pengguna GrabCar, salah satu layanan dari Grab, menyebutkan bahwa mereka menggunakan layanan sebanyak 3-4 kali setiap minggunya. Sementara, 25% pengguna Go-Car cenderung hanya menggunakan layanan sebanyak 1-2 kali dalam satu minggu.
Untuk kategori roda dua, Go-Ride masih menjadi pilihan utama pengguna transportasi online. Dari total responden yang memilih Go-Ride, sebanyak 64% menggunakannya hingga 1-2 kali sehari, sedangkan pemilih GrabBike yang menggunakan 1-2 kali daIam sehari ada 58%.
Untuk layanan online food delivery, Go-Food masih memimpin. Sebanyak 35% responden menyebutkan bahwa Go-Food merupakan layanan yang paling sering mereka gunakan. Sementara 27% responden menyatakan memilih GrabFood.
Merujuk pada hasil survei, rupanya OVO, aplikasi pembayaran yang digandeng Grab, unggul dalam pembayaran online to offline, seperti untuk membeli pulsa dan pembayaran di gerai-gerai non-makanan.
Berbeda dengan OVO, Go-Pay, platform pembayaran milik Go-Jek, lebih sering digunakan di pembayaran kedai-kedai makanan-minuman (Go-Food) dan untuk membayar tagihan Iistrik melalui aplikasi Go-Jek.
Sayangnya, di tengah “gegap-gempitanya” bisnis transportasi online, tindak kecurangan (fraud) pun terjadi. Fraud di kalangan pengemudi (driver) sudah menjadi rahasia umum.
Spire Research and Consulting memperkirakan sebanyak 30% dari order yang diterima Go-Jek terindikasi fraud. Angka itu cukup tinggi jika dibandingkan dengan persentase fraud Grab yang diperkirakan hanya 5%.
Para pengemudi Go-Jek yang pernah melakukan fraud itu mengatakan melakukannya karena menemukan celah yang dapat ditembus dalam sistem Go-Jek. Caranya, dengan menggunakan aplikasi yang dapat memodifikasi lokasi (mod). Di sisi Iain, meski pengemudi Grab tak terbebas dari praktik fraud, namun jumlahnya lebih sedikit, yakni kurang dari 10%.
Disampaikan oleh pengemudi Grab, dengan ketatnya sistem keamanan di aplikasi Grab dapat mendeteksi adanya praktik nakal para pengemudi. Sanksi yang diberikan oleh manajemen menjadi penghalau niat para pengemudi Grab untuk melakukan tindak kecurangan.
#Ryan