Arogansi Yang Melecehkan Marwah DPRD Dharmasraya

Dharmasraya (Rangkiangnagari) - Dharmasraya kembali diguncang polemik serius dalam relasi eksekutif dan legislatif. Bupati Annisa Suci Ramadhani bersama Sekda Jasman Rizal diduga telah mempertontonkan kesombongan politik yang melecehkan kewenangan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Arogansi itu tampak jelas ketika Sekda, selaku Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), secara sepihak membatalkan jadwal rapat asistensi yang sebelumnya sudah diputuskan melalui Badan Musyawarah (Bamus) DPRD. Padahal, Permendagri 80/2015 secara tegas mengatur bahwa Bamus adalah satu-satunya forum yang berwenang menentukan jadwal dan tempat rapat DPRD.

Keputusan Bamus bukan sekadar formalitas. Ia adalah produk kolektif yang mengikat seluruh anggota DPRD, alat kelengkapan dewan, dan pihak eksekutif yang diundang termasuk bupati, sekda, dan TAPD. Artinya, tidak ada satu pun alasan yang dapat membenarkan pembatalan sepihak dari pihak eksekutif.

Dengan kata lain, penetapan jadwal dan tempat rapat asistensi adalah hak DPRD, bukan hak bupati atau sekda. DPRD tidak berkewajiban meminta izin atau restu eksekutif. Jika jadwal sudah diketok Bamus, maka seluruh pihak harus menyesuaikan.

Tindakan membatalkan jadwal asistensi yang telah diputuskan Bamus bukan hanya soal teknis administrasi, melainkan bentuk nyata penghinaan terhadap lembaga legislatif. Publik bisa membaca peristiwa ini sebagai upaya Bupati Annisa dan Sekda Jasman untuk merendahkan DPRD, seolah-olah lembaga legislatif hanyalah perpanjangan tangan eksekutif yang bisa diatur sesuka hati.

Jika pola seperti ini dibiarkan, maka bukan mustahil marwah DPRD akan terus dilecehkan. Lebih jauh, relasi eksekutif-legislatif di Dharmasraya akan bergeser dari kemitraan sejajar menjadi relasi atasan-bawahan. Sebuah preseden buruk bagi demokrasi lokal.

Polemik ini tidak bisa dibiarkan lewat begitu saja. DPRD sebagai representasi rakyat wajib membela martabat kelembagaannya sendiri. Diam berarti setuju, dan tunduk berarti kalah.

Oleh karena itu, DPRD Dharmasraya sudah selayaknya menggunakan hak politik yang melekat pada dirinya:

Hak Interpelasi, untuk meminta penjelasan resmi Bupati dan Sekda.

Hak Angket, untuk menyelidiki lebih dalam dugaan pelecehan kewenangan legislatif.

Hak Menyatakan Pendapat (Mosi Tidak Percaya), jika terbukti eksekutif secara sengaja merendahkan marwah DPRD.

Langkah politik ini bukan semata demi kepentingan DPRD, melainkan demi menjaga keseimbangan kekuasaan daerah. Demokrasi hanya hidup ketika eksekutif dan legislatif berdiri sejajar, saling menghormati, dan tidak ada pihak yang merasa lebih berkuasa.

Kasus ini menjadi cermin betapa rentannya hubungan eksekutif-legislatif di Dharmasraya. Jika Bupati Annisa dan Sekda Jasman terus mempertahankan arogansinya, maka mereka bukan saja menciderai aturan hukum, tetapi juga merusak tradisi demokrasi yang dibangun dengan susah payah.

Seperti diingatkan pepatah adat Minangkabau:

“Kok gadang indak malindungi, kok tinggi indak manjuluangi.”

Pemimpin yang besar semestinya menaungi, bukan menindih, yang tinggi mestinya menjulang, bukan menindas. Bila bupati dan sekda justru memperkecil marwah DPRD, maka sejatinya mereka telah menyalahi falsafah kepemimpinan urang awak sendiri.

DPRD tidak boleh dibiarkan menjadi boneka yang bisa ditarik ulur. Saatnya dewan menunjukkan taring politiknya. Marwah lembaga legislatif adalah marwah rakyat. Jika dilecehkan, maka rakyatlah yang sebenarnya dihina. 

Labels: , ,
This is the most recent post.
Posting Lama
[blogger]

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.