Dharmasraya (Rangkiangnagari) - Dharmasraya hari ini patut bertanya ke mana arah kebijakan Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Semenjak kabupaten Dharmasraya dipimpin Bupati Perempuan pertama di Sumbar Annisa Suci Ramadhani?. Sebagai institusi yang mestinya menjadi jembatan antara pemerintah dengan publik, khususnya dengan insan pers, Kominfo justru menimbulkan tanda tanya besar. Alih-alih mengokohkan ekosistem jurnalisme yang sehat, transparan, dan berimbang, kebijakan yang diambil justru terasa timpang, diskriminatif, dan penuh aroma kepentingan.
Kominfo seharusnya berdiri di atas semua media, tanpa pandang bulu. Tugas utamanya bukan hanya soal distribusi anggaran, melainkan menjaga keberagaman suara pers agar tetap hidup sebagai pilar demokrasi di bumi Ranah Cati Nan Tigo. Namun yang terjadi justru sebaliknya sebagian media diguyur anggaran hingga Rp3 juta per bulan, sebagian hanya Rp1,5 juta, dan lebih banyak lagi terpaksa menerima Rp600 ribu per bulan. Kesenjangan ini bukan sekadar angka, tetapi simbol dari ketidakadilan yang mencolok mata.
Pertanyaan mendasar pun mengemuka apa dasar dari perbedaan ini? Apakah kualitas jurnalistik yang dijadikan ukuran? Apakah jangkauan pembaca menjadi pertimbangan? Atau sekadar karena faktor kedekatan personal dengan pengambil kebijakan? Tanpa kriteria yang jelas, publik berhak curiga bahwa kebijakan ini hanya berpihak pada segelintir kelompok, bukan pada kepentingan umum.
Lebih ironis lagi, Kominfo diduga mengabaikan amanat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). DPRD sudah menitipkan anggaran Rp200 juta untuk insan pers, dengan maksud mulia meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) jurnalis Dharmasraya. Anggaran itu sejatinya adalah bentuk sinergi antara legislatif dengan insan pers, sebuah komitmen agar wartawan lokal mampu bekerja lebih profesional dan berdaya saing. Tetapi apa lacur? Sampai hari ini, program yang dijanjikan tak kunjung berjalan.
Maka, wajar masyarakat bertanya ke mana perginya uang tersebut? Untuk siapa digunakan? Atau barangkali telah “berpindah” ke pos-pos lain yang tidak pernah disampaikan ke publik? Pertanyaan ini semakin relevan ketika Kominfo sendiri terlihat tak memiliki transparansi dalam pengelolaan anggaran.
Jika kondisi ini dibiarkan, maka bukan hanya citra Kominfo yang tercoreng, tetapi juga kredibilitas pemerintah daerah secara keseluruhan. Bagaimana mungkin sebuah institusi yang menjadi “wajah komunikasi pemerintah” justru gagal berkomunikasi dengan adil, jujur, dan transparan kepada publik?
Kominfo Dharmasraya harus segera melakukan koreksi. Pertama, menetapkan kriteria yang jelas, terbuka, dan akuntabel dalam kerjasama dengan media. Kedua, menunaikan kewajiban moral dan politik untuk menyalurkan anggaran Rp200 juta yang dititipkan DPRD sesuai dengan amanat awal. Dan ketiga, membuka ruang dialog yang setara dengan insan pers, bukan sekadar menjadikan mereka sebagai “mitra bayaran” tanpa penghargaan terhadap profesinya.
Tanpa langkah korektif ini, Kominfo hanya akan dipandang sebagai lembaga yang kehilangan arah, menjadi instrumen kepentingan segelintir pihak, dan melukai semangat demokrasi lokal. Dharmasraya tentu tidak layak dikelola dengan cara yang sempit seperti itu.(St)